Kamis, 20 Maret 2014

Reformasi Pendidikan Kehutanan

Foto: Fakultas Kehutanan UGM
Semakin hari, semakin banyak rimbawan yang terbentuk dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Akan tetapi, semakin rusak pula hutan yang ada di Indonesia. Ini lah gambaran yang menyentak para rimbawan. Banyak kalangan yang menuding bahwa yang rimbawan lah yang berada di balik semua kerusakan hutan selama ini. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang menjadi salah satu institusi pencipta rimbawan di tuntut untuk berbenah. Sejak 1963 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada telah menciptakan begitu banyak rimbawan. Dan sejak itu pula kurikulum pendidikan kehutanan berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Serta mengikuti perubahan isu yang melingkupi kehutanan. Namun perubahan-perubahan itu belum menimbulkan dampak signifkan bagi pengelolaan hutan di Indonesia. Diperlukan suatu reformasi terhadap kurikulum pendidikan tinggi kehutanan yang ada saat ini.

Hutan saat ini menjadi sumberdaya multidimensi. Beragam aktor bermain di hutan yang memiliki kepentingan beragam pula. Hutan dituntut tidak hanya menghasilkan kayu dan kepentingan ekonomi semata. Namun peran hutan sangatlah vital dalam menyediakan jasa lingkungan bagi umat manusia, menyediakan habitat bagi satwa langka dan terancam punah, mencegah pemanasan global, dan lain sebagainya. Karakter sumberdaya hutan yang mulridimensi memberikan tantangan besar bagi pendidikan kehutanan untuk mendidik mahasiswanya untuk menjadi rimbawan profesional. Pengelolaan hutan yang baik pada dasarnya merupakan upaya untuk mengatur dan memenuhi berbagai kepentingan tersebut.

Temu(2007) mengadakan sebuah kajian yang menyatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi saat ini adalah masalah lintas sektoral. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan multidisiplin dalam pendidikan kehutanan. Hutan harus dipahami lebih dari sekedar konteks biologi, silvikultur, dan ekologi. Akan tetapi, juga mampu bidang-bidang lain yaitu ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya. Sehingga terciptalah rimbawan yang memiliki pengerahuan lintas sektoral. Disini bukan berarti mengecilkan teori kehutanan dasar. Ilmu kehutanan dasar masih tetap penting, karena mahasiswa kehutanan harus memiliki pemahaman ilmiah terhadap proses-proses alamiah terkait dengan hutan. Oleh karena itu,  teori dasar kehutanan masih krusial dan harus menjadi inti. Teori dasar kehutanan harus menjadi kompentensi minimum seorang rimbawan. Namun diperlukan juga ilmu lintas sektoral. Proporsi antara ilmu dasar bidang kehutanan dan lintas sektoral perlu diatur dengan hati-hati.

Isu yang melingkupi kehutanan saat ini berubah sangat cepat dan dinamis. Perubahan isu kehutanan harus dikuti perubahan cara pandang seorang rimbawan. Hal tersebut menuntut perubahan yang menyeluruh. Tidak hanya dalam kebijakan dan program-program. Namun institusi pendidikan tinggi kehutanan harus memasukkan paradigma tersebut. Isu-isu yang sedang berkembang seharusnya mampu ditangkap dan dikombinasikan di dalam kurikulum pendidikan kehutanan. Dan tidak hanya mampu mengerti perubahan isu yang ada, namun juga dapat dengan cepat beradaptasi dengan perubahan isu yang terjadi. Kurikulum yang dibangun harus mampu menciptakan kompetensi metodis dari setiap rimbawan.

Dalam lima puluh tahun terakhir ini, ada dua perubahan besar terkait dengan interaksi manusia terhadap sumberdaya hutan. Perubahan yang pertama terkait dengan paradigma terhadap kemanfaatan hutan bagi umat manusia. Pasca perang dunia kedua, sumberdaya hutan dieksploitasi secara berlebihan untuk pembangunan. Sehingga muncullah paradigma economic development. Setelah itu di era 1970-an ada paradigma baru yang muncul yaitu ecological modernization. Bahwa telah terjadi krisis ekologi di dunia ini. Dan yang terakhir pada dekade 1990-an ada paradigma baru yang menyatakan bahwa diperlukan pembangunan yang berkelanjutan demi terciptanya kelestarian, disebut dengan sustainable development. Sementara yang kedua terkait dengan pelibatan para pihak dalam pengelolaan hutan. Mulai dari civic environmentalism yang mendorong telibatnya masyarakat adat untuk mengelola huatn. Kemudian menuju neo(green) liberalisme, dan global governance yang keduanya bertumpu pada peran masyarakat internasional.

Sembilan Nilai Dasar Rimbawan

Sistem pendidikan tinggi saat ini tidak mampu menciptakan seorang rimbawan yang memiliki sembilan nilai dasar rimbawan. Sembilan nilai tersebut antara lain: jujur, tanggung jawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan profesional.  Kesembilan nilai dasar ini tidak dimiliki oleh setiap rimbawan yang terbentuk. Seharusnya sembilan nilai ini menjadi nilai-nilai yang melekat pada setiap diri rimbawan. Sembilan nilai ini menjadi nilai wajib yang harus dimiliki seorang rimbawan. Diperlukan suatu sistem pendidikan yang terintegrasi untuk menciptakan rimbawan yang memiliki sembilan nilai dasar rimbawan.

Ketika seorang rimbawan tidak memiliki sembilan nilai dasar ini maka dapat dipastikan pengelolaan hutan yang ada tidak akan pernah lestari. Misalnya saja sikap jujur, yang merupakan sikap yang sangat fundamental yang harus dimiliki oleh seorang rimbawan. Perbuatan berbohong adalah pintu masuk awal dari masalah terjadi di kehutanan. Misalnya banyak HPH (Hak Perijinan Hutan) yang menyuap kepala daerah demi mendapatkan ijin penggunaan hutan. Jika HPH tersebut memiliki sikap jujur maka hal tersebut tidak akan terjadi. Disinilah pentingnya sikap jujur yang harus dimiliki oleh setiap rimbawan. Sikap jujur ini dapat mulai dibangun dari bangku kuliah. Misalnya ada sebuah peraturan itu seperti dilarang mencontek saat ujian berlangsung dan jika ketahuan mencontek otomatis mendapatkan nilai E pada mata kuliah tersebut. Dan peraturan tersebut harus tegas dijalankan agar terciptanya mahasiswa yang memiliki sikap jujur.

Reformasi pendidikan tinggi kehutanan perlu untuk dilakukan saat ini juga. Namun tidak sepenuhnya direformasi. Ada hal yang perlu untuk tetap dipertahankan. Misalnya pengembangan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma) perlu untuk tetap ada. Tri Dharma perguruan tinggi ini sudah berjalan dengan baik selama ini sehingga perlu untuk dipertahankan.

Reformasi pendidikan tinggi kehutanan perlu untuk dilakukan karena hutan saat ini menjadi sumberdaya multidimensi, isu yang melingkupi kehutanan saat ini berubah sangat cepat dan dinamis, dan sistem pendidikan tinggi saat ini tidak mampu menciptakan seorang rimbawan yang memiliki sembilan nilai dasar rimbawan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan tinggi kehutanan yang menyeluruh. Pengeloaan hutan yang ada di Indonesia saat ini tergantung oleh para rimbawan yang terbentuk dari pendidikan tinggi. Sejauh manakah reformasi pendidikan tinggi kehutanan, sejauh itu pula lah pengelolaan hutan dapat bejalan secara lestari.

Tidak ada komentar: