Foto: Fakultas Kehutanan UGM |
Hutan saat ini menjadi
sumberdaya multidimensi. Beragam aktor bermain di hutan yang memiliki
kepentingan beragam pula. Hutan dituntut tidak hanya menghasilkan kayu dan kepentingan
ekonomi semata. Namun peran hutan sangatlah vital dalam menyediakan jasa
lingkungan bagi umat manusia, menyediakan habitat bagi satwa langka dan
terancam punah, mencegah pemanasan global, dan lain sebagainya. Karakter
sumberdaya hutan yang mulridimensi memberikan tantangan besar bagi pendidikan
kehutanan untuk mendidik mahasiswanya untuk menjadi rimbawan profesional.
Pengelolaan hutan yang baik pada dasarnya merupakan upaya untuk mengatur dan
memenuhi berbagai kepentingan tersebut.
Temu(2007) mengadakan
sebuah kajian yang menyatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi saat ini
adalah masalah lintas sektoral. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
multidisiplin dalam pendidikan kehutanan. Hutan harus dipahami lebih dari
sekedar konteks biologi, silvikultur, dan ekologi. Akan tetapi, juga mampu
bidang-bidang lain yaitu ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya. Sehingga
terciptalah rimbawan yang memiliki pengerahuan lintas sektoral. Disini bukan
berarti mengecilkan teori kehutanan dasar. Ilmu kehutanan dasar masih tetap
penting, karena mahasiswa kehutanan harus memiliki pemahaman ilmiah terhadap
proses-proses alamiah terkait dengan hutan. Oleh karena itu, teori dasar kehutanan masih krusial dan harus
menjadi inti. Teori dasar kehutanan harus menjadi kompentensi minimum seorang
rimbawan. Namun diperlukan juga ilmu lintas sektoral. Proporsi antara ilmu
dasar bidang kehutanan dan lintas sektoral perlu diatur dengan hati-hati.
Isu yang melingkupi
kehutanan saat ini berubah sangat cepat dan dinamis. Perubahan isu kehutanan
harus dikuti perubahan cara pandang seorang rimbawan. Hal tersebut menuntut
perubahan yang menyeluruh. Tidak hanya dalam kebijakan dan program-program.
Namun institusi pendidikan tinggi kehutanan harus memasukkan paradigma
tersebut. Isu-isu yang sedang berkembang seharusnya mampu ditangkap dan
dikombinasikan di dalam kurikulum pendidikan kehutanan. Dan tidak hanya mampu
mengerti perubahan isu yang ada, namun juga dapat dengan cepat beradaptasi
dengan perubahan isu yang terjadi. Kurikulum yang dibangun harus mampu
menciptakan kompetensi metodis dari setiap rimbawan.
Dalam lima puluh tahun
terakhir ini, ada dua perubahan besar terkait dengan interaksi manusia terhadap
sumberdaya hutan. Perubahan yang pertama terkait dengan paradigma terhadap
kemanfaatan hutan bagi umat manusia. Pasca perang dunia kedua, sumberdaya hutan
dieksploitasi secara berlebihan untuk pembangunan. Sehingga muncullah paradigma
economic development. Setelah itu di
era 1970-an ada paradigma baru yang muncul yaitu ecological modernization. Bahwa telah terjadi krisis ekologi di
dunia ini. Dan yang terakhir pada dekade 1990-an ada paradigma baru yang
menyatakan bahwa diperlukan pembangunan yang berkelanjutan demi terciptanya
kelestarian, disebut dengan sustainable
development. Sementara yang kedua terkait dengan pelibatan para pihak dalam
pengelolaan hutan. Mulai dari civic
environmentalism yang mendorong telibatnya masyarakat adat untuk mengelola
huatn. Kemudian menuju neo(green)
liberalisme, dan global governance yang
keduanya bertumpu pada peran masyarakat internasional.
Sembilan
Nilai Dasar Rimbawan
Sistem pendidikan
tinggi saat ini tidak mampu menciptakan seorang rimbawan yang memiliki sembilan
nilai dasar rimbawan. Sembilan nilai tersebut antara lain: jujur, tanggung
jawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan profesional. Kesembilan nilai dasar ini tidak dimiliki
oleh setiap rimbawan yang terbentuk. Seharusnya sembilan nilai ini menjadi
nilai-nilai yang melekat pada setiap diri rimbawan. Sembilan nilai ini menjadi
nilai wajib yang harus dimiliki seorang rimbawan. Diperlukan suatu sistem
pendidikan yang terintegrasi untuk menciptakan rimbawan yang memiliki sembilan
nilai dasar rimbawan.
Ketika seorang rimbawan
tidak memiliki sembilan nilai dasar ini maka dapat dipastikan pengelolaan hutan
yang ada tidak akan pernah lestari. Misalnya saja sikap jujur, yang merupakan
sikap yang sangat fundamental yang harus dimiliki oleh seorang rimbawan.
Perbuatan berbohong adalah pintu masuk awal dari masalah terjadi di kehutanan.
Misalnya banyak HPH (Hak Perijinan Hutan) yang menyuap kepala daerah demi
mendapatkan ijin penggunaan hutan. Jika HPH tersebut memiliki sikap jujur maka
hal tersebut tidak akan terjadi. Disinilah pentingnya sikap jujur yang harus
dimiliki oleh setiap rimbawan. Sikap jujur ini dapat mulai dibangun dari bangku
kuliah. Misalnya ada sebuah peraturan itu seperti dilarang mencontek saat ujian
berlangsung dan jika ketahuan mencontek otomatis mendapatkan nilai E pada mata
kuliah tersebut. Dan peraturan tersebut harus tegas dijalankan agar terciptanya
mahasiswa yang memiliki sikap jujur.
Reformasi pendidikan
tinggi kehutanan perlu untuk dilakukan saat ini juga. Namun tidak sepenuhnya
direformasi. Ada hal yang perlu untuk tetap dipertahankan. Misalnya
pengembangan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tri
Dharma) perlu untuk tetap ada. Tri Dharma perguruan tinggi ini sudah berjalan
dengan baik selama ini sehingga perlu untuk dipertahankan.
Reformasi pendidikan
tinggi kehutanan perlu untuk dilakukan karena hutan saat ini menjadi sumberdaya
multidimensi, isu yang melingkupi kehutanan saat ini berubah sangat cepat dan
dinamis, dan sistem pendidikan tinggi saat ini tidak mampu menciptakan seorang
rimbawan yang memiliki sembilan nilai dasar rimbawan. Oleh karena itu,
diperlukan reformasi pendidikan tinggi kehutanan yang menyeluruh. Pengeloaan
hutan yang ada di Indonesia saat ini tergantung oleh para rimbawan yang
terbentuk dari pendidikan tinggi. Sejauh manakah reformasi pendidikan tinggi
kehutanan, sejauh itu pula lah pengelolaan hutan dapat bejalan secara lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar