Rabu, 15 Oktober 2014

Menjadi Seorang Pemikir

Ilustrasi: otak yang terpacu
Kemarin pagi sampai sore aku masih pusing banget. Aku bingung banget dengan diriku sendiri. Aku seperti orang linglung. Kondisi dimana diriku sedang mikirin sesuatu tetapi aku tak tahu yang sedang aku pikirkan sebenarnya apa. Begitu lah yang aku pikirkan dan aku rasakan. Bingung bukan? Apa aku gila? Apa akan begini terus? Ini lah pertanyaan yang muncul saat aku sedang linglung. Hah...

Akhirnya, pada sorenya, aku gak kuat lagi. Aku putusin untuk ke GMC (lupa kepanjangannya, semacam tempat berobat) di sekolah Vokasi. Untuk mencapai lokasinya tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya lima menit. Hal ini dikarenakan kos ku yang lumayan dekat dengan tempatnya. Aku kesana bukan untuk berobat (untuk mendapatkan obat). Namun, aku akan konsultasi dengan psikolog, mumpung ini hari selasa. Psikolog tersebut buka setiap senin sampai rabu. “Psikolog yang paling realistis yang hari selasa. Orangnya sekitar berumur 35 tahunan. Dia cewek” kata temenku.

Inilah yang dikatakan oleh psikolog tersebut kepada ku yang telah aku analisis (ini belum lengkap, yang selengkapnya baca pada tulisan yang akan datang). “Kamu linglung karena kondisi pikiranku sedang berada pada puncaknya. Kamu terlalu banyak pikiran sehingga kamu menjadi linglung.” Aku masih bertanya-tanya. Akan tetapi, ada perkataan yang membuatku tidak cemas lagi. “Ini wajar, kamu bertanya-tanya seperti itu (antara idealisme dan realitas). Ini adalah proses menuju dewasa.” Dalam hati aku merasa tidak khawatir lagi dengan kondisiku yang seperti ini. Namun, ada perkataanya yang membuatku tersanjung. “Kalo kamu seperti itu (bertanya-tanya), tandanya kamu orang yang intelek”. “Hah..Ada yang memuji aku, Alhamdulillah,” pikirku. Dan aku menjadi bahagia dan sombong (jangan ditiru yang sombong) rasanya.

Keesokan harinya....

Saat ini masih pagi dan bulan Oktober pun baru berjalan setengahnya. Pagi yang mendung ketika kulihat ke atas (langit). Namun, tidak begitu dengan pikirannku. Pikiranku terus berpikir hal-hal yang belum aku bisa jawab sendiri. Akhirnya kutuangkanlah dalam sebuah tulisan agar aku gak terlalu pusing dibuatnya. Aku butuh teman yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku ini. Pertanyaan-pertanyaan di kepala ku, sederhana sih, soal negara. Biasanya aku sih mikirin esensi kehidupan ini dan negara. Namun, gak tahu kenapa sekarang aku getol banget mikirin negara. Gak tahu kenapa aku bertanya-tanya masalah negara? Apa aku mau ngurusi negara, kok mikirin negara mulu? Itu yang menjadi pertanyaan buat diriku selanjutnya. Kemudian diriku ngomel, “ngurus diri sendiri aja belum becos, mau ngurus negara. Joko, Joko, ah....”

Berdasarkan hasil analisis diriku sendiri, aku seperti itu (mikirin negara) karena dalam diriku rasanya aku pengen jadi pemimpin yang adil dan bermafaat. “Perasaan yang sok-sok an, emang kamu bisa seperti itu?” pikirannku memberontak.

Kuakhiri tulisanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang malah semakin banyak bermunculan dalam otakku. Aku tambah pusing.

Kenpa aku seperti ini? Menjadi seorang yang pemikir. Proses nya(menjadi seorang pemikir) akan aku bahas pada tulisan selanjutnya.

Rabu, 01 Oktober 2014

Filosofi Hidup, Kertas

Foto: kertas yang siap ditulis
Bagaikan kertas itulah anologi hidup menurutku. Orang bisa menganoligkan yang lain namun, aku mempunyai pendapat tersendiri untuk hal ini.

Seperti halnya kertas, hidup juga seperti itu. Kertas yang ada dapat kita gunakan untuk menulis. Tulisan apapun terserah kita baik untuk tulisan dengan cerita sedih, cerita senang, atau yang lain. Itu terserah pada kita. Misalkan kertas tersebut akan dibuat tulisan cerita pendek. Semuanya tergantung kita. Kita mau membuat cerita seperti apa. Cerita yang tragis, yang happy ending atau lainnya.

Begitu pula dengan hidup ini. Hidup ini dapat kita jalani sesuka kita. Kita ingin bahagia tergantung kita menjalaninya. Kita ingin sukses juga tergantung kita juga. Misalnya saja sukses, sukses akan didapat bila kita melakukan hal-hal yang dapat mendekatkan kita pada kesuksesan. Kita tahu teorinya seperti apa untuk mendapatkan atau memperoleh kesuksesan namun, apakan kita akan melakukannya. Itu yang menjadi pertanyaannya. Semua tergantung diri kita.


Jadi hidup ini tergantung kita dalam menjalaninya seperti halnya sebuah kertas yang akan ditulisi tentang sebuah cerita.

Minggu, 31 Agustus 2014

Peyempurnaan KPH

Ilustasi: logo KPH
Kehutanan Indonesia sudah sejak lama memiliki sistem kelembagaan yang ‘amburadul’. Hal itu membuat pengelolaan hutan menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, diperlukan sistem kelembagaan baru yang dapat mengelola hutan indonsia dengan baik.

Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) muncul sebagai solusi untuk pengelolaan hutan yang lebih baik. KPH adalah kelembaggaan yang betugas untuk ‘menyelenggarakan’ pengelolaan hutan di Indonesia. Dalam sistem kelembagaannya, KPH sudah cukup rinci tugas dan wewenangnya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada saat ini.

Namun, tidak sepenuhnya sistem kelembagaan KPH ini sempurna. Masih ada celah dalam sistemnya. Yang pertama tidak adanya hubungan yang jelas antara KPH dan pemerintahan daerah dan pusat serta dinas terkait. Dengan demikian, dapat menyebabkan overlap kebijakan. Selain itu, dalam pembentukan KPH masih terjadi banyak masalah. Maka dari itu diperlukan sistem kelembagaan KPH yang terintegrasi dan diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah dalam pembentukannya.

Senin, 24 Maret 2014

Cara Menuntut Ilmu dengan Meluruskan Niat

Foto: mahasiswa sedang kuliah
Begitu banyak mahasiswa saat ini yang hanya berpikiran prakmatis saja terhadap pendidikan yang mereka jalani. Mereka kuliah karena hanya untuk bekerja atau mencari pekerjaan saja. Mereka hanya menginginkan ijazah saja tanpa mengetahahui proses sebenarnya yang harus dijalalani.

Kebanyakan mahasisiwa yang ada sekarang hanya memikirkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saja. Bagaimana IPK mereka bagus? Itulah hal terpenting bagi mereka. Yang penting IPK mereka bagus dengan cara apapun. Ada yang setiap kuliah bolos terus tetapi, saat ujian berangkat. Ada pula yang berangkat terus tapi saat kuliah tidak mendengarkan apa yang dijarkan oleh dosen, mereka ngombrol ngalor-ngidul. Tidak hanya itu ada mahasisiwa yang sukanya titip absen kepada temannya. Kebiasaan buruk di bangku atau jenjang pendidikan ini yang menghambat kemajuan negara kita. Bahkan ada mahasiswa yang rela nyontek ataupun dengan modus lainnya untuk mendapatkan IPK bagus. Hali ini lah yang merusak karakter bangsa indonesia. Semuanya ini perlu untuk diluruskan, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah hal yang salah. Meskipun dalam banyangan mereka hal tersebut adalah bernar.

Kita harus paham terlebih dahulu mengenai tujuan pendidikan. Tujuan utama orang menempuh kuliah atau pengajaran adalah menuntut ilmu atau mendapatkan pengetahuan baru baginya. Inilah tujuan yang benar. Menuntut ilmu tidaklah untuk mencari ijazah semata akan tetapi, menuntut ilmu bertujuan untuk memberikan pemahaman yang baru kepada orang yang tidak mengerti tentang ilmu yang kita peroleh tersebut. Arti secara luas, ilmu tersebut harus memberikan manfaat kepada orang lain yang ada disekitar kita. Kita harus mengunakan ilmu tersebut untuk kemaslahatan sehingga bermanfaat bagi banyak orang.

Menuntut ilmu sejatinya adalah proses untuk mendapatkan ilmu atau pengetahuan. Kemudian hal tersebut dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan banyak orang. Dengan demikian maka kita perlu meluruskan niat kita dalam menuntut ilmu. Niat merupakan awal langkah seseorang melakukan tindakan berikutnya. Bila niat kita sudah tertata dengan baik maka langkah-langkah yang kita lakukan berikutnya pun akan baik pula. 

Kamis, 20 Maret 2014

Reformasi Pendidikan Kehutanan

Foto: Fakultas Kehutanan UGM
Semakin hari, semakin banyak rimbawan yang terbentuk dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Akan tetapi, semakin rusak pula hutan yang ada di Indonesia. Ini lah gambaran yang menyentak para rimbawan. Banyak kalangan yang menuding bahwa yang rimbawan lah yang berada di balik semua kerusakan hutan selama ini. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang menjadi salah satu institusi pencipta rimbawan di tuntut untuk berbenah. Sejak 1963 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada telah menciptakan begitu banyak rimbawan. Dan sejak itu pula kurikulum pendidikan kehutanan berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Serta mengikuti perubahan isu yang melingkupi kehutanan. Namun perubahan-perubahan itu belum menimbulkan dampak signifkan bagi pengelolaan hutan di Indonesia. Diperlukan suatu reformasi terhadap kurikulum pendidikan tinggi kehutanan yang ada saat ini.

Hutan saat ini menjadi sumberdaya multidimensi. Beragam aktor bermain di hutan yang memiliki kepentingan beragam pula. Hutan dituntut tidak hanya menghasilkan kayu dan kepentingan ekonomi semata. Namun peran hutan sangatlah vital dalam menyediakan jasa lingkungan bagi umat manusia, menyediakan habitat bagi satwa langka dan terancam punah, mencegah pemanasan global, dan lain sebagainya. Karakter sumberdaya hutan yang mulridimensi memberikan tantangan besar bagi pendidikan kehutanan untuk mendidik mahasiswanya untuk menjadi rimbawan profesional. Pengelolaan hutan yang baik pada dasarnya merupakan upaya untuk mengatur dan memenuhi berbagai kepentingan tersebut.

Temu(2007) mengadakan sebuah kajian yang menyatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi saat ini adalah masalah lintas sektoral. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan multidisiplin dalam pendidikan kehutanan. Hutan harus dipahami lebih dari sekedar konteks biologi, silvikultur, dan ekologi. Akan tetapi, juga mampu bidang-bidang lain yaitu ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya. Sehingga terciptalah rimbawan yang memiliki pengerahuan lintas sektoral. Disini bukan berarti mengecilkan teori kehutanan dasar. Ilmu kehutanan dasar masih tetap penting, karena mahasiswa kehutanan harus memiliki pemahaman ilmiah terhadap proses-proses alamiah terkait dengan hutan. Oleh karena itu,  teori dasar kehutanan masih krusial dan harus menjadi inti. Teori dasar kehutanan harus menjadi kompentensi minimum seorang rimbawan. Namun diperlukan juga ilmu lintas sektoral. Proporsi antara ilmu dasar bidang kehutanan dan lintas sektoral perlu diatur dengan hati-hati.

Isu yang melingkupi kehutanan saat ini berubah sangat cepat dan dinamis. Perubahan isu kehutanan harus dikuti perubahan cara pandang seorang rimbawan. Hal tersebut menuntut perubahan yang menyeluruh. Tidak hanya dalam kebijakan dan program-program. Namun institusi pendidikan tinggi kehutanan harus memasukkan paradigma tersebut. Isu-isu yang sedang berkembang seharusnya mampu ditangkap dan dikombinasikan di dalam kurikulum pendidikan kehutanan. Dan tidak hanya mampu mengerti perubahan isu yang ada, namun juga dapat dengan cepat beradaptasi dengan perubahan isu yang terjadi. Kurikulum yang dibangun harus mampu menciptakan kompetensi metodis dari setiap rimbawan.

Dalam lima puluh tahun terakhir ini, ada dua perubahan besar terkait dengan interaksi manusia terhadap sumberdaya hutan. Perubahan yang pertama terkait dengan paradigma terhadap kemanfaatan hutan bagi umat manusia. Pasca perang dunia kedua, sumberdaya hutan dieksploitasi secara berlebihan untuk pembangunan. Sehingga muncullah paradigma economic development. Setelah itu di era 1970-an ada paradigma baru yang muncul yaitu ecological modernization. Bahwa telah terjadi krisis ekologi di dunia ini. Dan yang terakhir pada dekade 1990-an ada paradigma baru yang menyatakan bahwa diperlukan pembangunan yang berkelanjutan demi terciptanya kelestarian, disebut dengan sustainable development. Sementara yang kedua terkait dengan pelibatan para pihak dalam pengelolaan hutan. Mulai dari civic environmentalism yang mendorong telibatnya masyarakat adat untuk mengelola huatn. Kemudian menuju neo(green) liberalisme, dan global governance yang keduanya bertumpu pada peran masyarakat internasional.

Sembilan Nilai Dasar Rimbawan

Sistem pendidikan tinggi saat ini tidak mampu menciptakan seorang rimbawan yang memiliki sembilan nilai dasar rimbawan. Sembilan nilai tersebut antara lain: jujur, tanggung jawab, ikhlas, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama, dan profesional.  Kesembilan nilai dasar ini tidak dimiliki oleh setiap rimbawan yang terbentuk. Seharusnya sembilan nilai ini menjadi nilai-nilai yang melekat pada setiap diri rimbawan. Sembilan nilai ini menjadi nilai wajib yang harus dimiliki seorang rimbawan. Diperlukan suatu sistem pendidikan yang terintegrasi untuk menciptakan rimbawan yang memiliki sembilan nilai dasar rimbawan.

Ketika seorang rimbawan tidak memiliki sembilan nilai dasar ini maka dapat dipastikan pengelolaan hutan yang ada tidak akan pernah lestari. Misalnya saja sikap jujur, yang merupakan sikap yang sangat fundamental yang harus dimiliki oleh seorang rimbawan. Perbuatan berbohong adalah pintu masuk awal dari masalah terjadi di kehutanan. Misalnya banyak HPH (Hak Perijinan Hutan) yang menyuap kepala daerah demi mendapatkan ijin penggunaan hutan. Jika HPH tersebut memiliki sikap jujur maka hal tersebut tidak akan terjadi. Disinilah pentingnya sikap jujur yang harus dimiliki oleh setiap rimbawan. Sikap jujur ini dapat mulai dibangun dari bangku kuliah. Misalnya ada sebuah peraturan itu seperti dilarang mencontek saat ujian berlangsung dan jika ketahuan mencontek otomatis mendapatkan nilai E pada mata kuliah tersebut. Dan peraturan tersebut harus tegas dijalankan agar terciptanya mahasiswa yang memiliki sikap jujur.

Reformasi pendidikan tinggi kehutanan perlu untuk dilakukan saat ini juga. Namun tidak sepenuhnya direformasi. Ada hal yang perlu untuk tetap dipertahankan. Misalnya pengembangan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma) perlu untuk tetap ada. Tri Dharma perguruan tinggi ini sudah berjalan dengan baik selama ini sehingga perlu untuk dipertahankan.

Reformasi pendidikan tinggi kehutanan perlu untuk dilakukan karena hutan saat ini menjadi sumberdaya multidimensi, isu yang melingkupi kehutanan saat ini berubah sangat cepat dan dinamis, dan sistem pendidikan tinggi saat ini tidak mampu menciptakan seorang rimbawan yang memiliki sembilan nilai dasar rimbawan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan tinggi kehutanan yang menyeluruh. Pengeloaan hutan yang ada di Indonesia saat ini tergantung oleh para rimbawan yang terbentuk dari pendidikan tinggi. Sejauh manakah reformasi pendidikan tinggi kehutanan, sejauh itu pula lah pengelolaan hutan dapat bejalan secara lestari.

Senin, 17 Maret 2014

Indonesia Krisis Kebudayaan

Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas dan kepribadian. Krisis identitas dan kepribadian itu terjadi hampir disetiap bidang dan lapisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga dapat dikatakan bangsa kita sedang mengalami krisis kebudayaaan. Hal ini tercermin kala para pemegang kekuasaan banyak tergelincir di tengah jalan karena kasus korupsi yang menjeratnya. Gejala krisis tampak dalam kepribadian orang per orang warga bangsa. Namun juga tampak dalam identitas budaya berkelompok, identitas budaya berbagai kesatuan masyarakat hukum adat, berbagai komunitas etnis atau suku bangsa di daerah-daerah di seluruh Indonesia, bahkan terlihat pula dalam kehidupan kita sebagai masyarakat dan bangsa.

Krisis kebudayaan ini berlangsung cukup lama, terutama sejak krisis politik dan ekonomi tahun 1997-1998 yang membawa bangsa Indonesia kearah reformasi. Hal tersebut kemudian diikuti oleh gelombang kebebasan dan keterbukaan yang sangat luas disegala bidang selama 16-17 tahun terakhir. Sesudah reformasi bangsa Indonesia terhindar dari krisis politik dan ekonomi, sehingga perkembangan dan pertumbuhan ekonomi menggeliat cukup pesat. Namun, sampai saat ini bangsa Indonesia belum dapat mengatasi krisis kebudayaan tersebut.

Indonesia sebenarnya memiliki kebudayaan nasional yang terbentuk dari adat dan kebudayaan melayu. Kebudayaan melayulah sebagai pemersatu bangsa Indonesia menjadi kesatuan kebudayaan jauh-jauh hari sebelum nusantara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman Sriwijaya kebudayaan melayu telah diterima secara luas oleh seluruh masyarakat nusantara dari Sabang samapai Merauke. Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan terbesar pertama yang mempersatukan wilayah nusantara banyak meninggalkan situs-situs prasasti yang ditemukan berbahasa Melayu. Sebelum terbentuknya Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu dan berpusat di Pulau Jawa, wilayah nusantara telah sejak lama dipersatukan oleh bahasa Melayu dan ajaran agama Budha yang berpusat di Palembang dan sekitarnya. Dengan demikian, adat dan kebudayaan melayu merupakan urat nadi dan komponen paling utama pembentuk kebudayaan nasional Indonesia.

Kebudayaan dan identitas bangsa Indonesia identik dengan kemelayuan dan kemelayuan kita tak lain adalah ke-Indonesiaan. Akan tetapi, ke-Indonesiaan kita terkena terpaan pengaruh kebudayaan asing yang sangat kental di era globalisasi saat ini di berbagai bidang. Bahkan, semua aspek kehidupan kita sehari-hari telah dijangkiti oleh pengaruh cita rasa kebudayaan asing terutama barat, seperti selera makanan, pakain, bentuk arsitektur rumah, musik serta bahasa. Tanpa disadari saat ini selera dan cita rasa semua orang telah mengalami pembaratan atau westernisasi.

Di era globalisasi kebudayaan dewasa ini, semua pengaruh kebudayaan asing merupakan hal yang tak ter hindarkan. Oleh karena itu, tak ada jalan lain kita harus memperkuat nilai tawar tradisi budaya lokal bangsa kita sendiri agar terjadi akulturasi yang seimbang. Dalam dinamika persilangan budaya dan hubungan saling pengaruh mempengaruhi antar kebudayaan dapat berlangsung dengan memberi pilihan-pilihan kreatif bagi setiap insan kebudayaan untuk mengembangkan jatidiri dan kepribadian budayanya masing-masing.

Bangsa kita tidak boleh dibiarkan tercabut dari akar budayanya sendiri karena harus melayani pengaruh budaya asing yang sangat dominan. Diperlukan upaya untuk merevitalisasi aneka adat istiadat dan tradisi budaya lokal dalam menghadapi arus pengaruh budaya asing. Untuk itu, pemerintah daerah di seluruh Indonesia selaku pemegang kekuasaan tertinggi di daerah harus membangun kesadaran baru tentang pentingnya penguatan kesadaran budaya daerahnya masing-masing.

Minggu, 16 Maret 2014

Cukup: Konsep Hidup

Ilustrasi: uang koin seribu rupiah
Setiap orang pasti memiliki konsep hidup yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar konsep hidup seseorang adalah mendapatkan uang atau gaji sebesar-besarnya dari pekerjaannya. Mereka ingin memperkaya diri mereka dengan menimbun uang. Mereka ingin hidup mewah.

Menurut saya, konsep tersebut salah kaprah. Kita sebagai manusia memiliki sifat yang tak pernah puas akan kebutuhan. Selalu ada yang kita inginkan, misalnya kita telah memiliki sepeda motor kita merasa tidak puas akan sepeda motor tersebut. Kita menginginkan lebih dari sepeda motor sehingga kita ingin membeli mobil. Lagi contoh, meskipun kita memiliki mobil kita merasa mobil itu masih kurang bagus bagi kita. Akhirnya kita membeli mobil yang lebih bagus dari yang kita miliki. Sifat seperti inilah yang harus kita hindari.

Kebanyakan orang memilki sifat seperti ini. Karena keinginan manusia tidak ada batasnya maka perlu kita membatasi keinginan kita. Cara membatasinya dengan hidup cukup, tidak berlebihan. Hidup cukup lebih baik daripada hidup berlebihan. Hidup cukup akan membuat kita tentram dan damai karena hidup cukup dapat dipenuhi manusia dengan mudah.

Hidup cukup merupakan sebaik-baiknya hidup. Dengan hidup cukup kita akan melakukan kebajikan-kebajikan secara tidak langsung. Hidup cukup juga akan membawa kita kepada kemuliaan akhirat, karena Tuhan sendiri tidak memperbolehkan seseorang hidup berlebih-lebihan. Tuhan tak menginginkan kita hidup dalam keserakahan. Keserakahan yang nantinya akan membuat hidup kita tak bernilai karena kita hidup hanya untuk mengejar kesenangan dan keinginan semata. Maka jadikanlah hidup kita lebih bernilai dengan hidup cukup.