Foto: wawancara dengan masyarakat Nusakambangan |
Sekranag ini pukul 01.57, dini hari senin. Aku tak tahu
kenapa diriku tak bisa terlelap malam ini. meski, mata ini pedas seakan ingin
istirahat tapi tetap saja tak bisa tertidur. Di sisi lain, kepala ini rasanya
pusing. Aku tak tahu kenapa kepala ini menjadi pusing. Tiba-tiba sejak
kepulangan dari Komisariat Fakultas menjadi pusing. Mungin, kepala ku pusing
karena aku memikirkan apa yang telah baru saja aku baca. Tadinya aku membaca
perubahan nilai-nilai indonesia. dalam buku tersebut bercerita secara jelas
bahwa perubahan budaya adalah keniscayaan yang harus dialami oleh manusia.
Dalam perubahan budaya ini akan terjadi hilangnya kebudayaan atau kemerosotan
budaya bahkan dapat terciptanya budaya baru yang dapat menggantikan budaya
lama.
Buku terbitan tahun 80an ini ditulis oleh para dosen dan
budayawan pada masa itu. Menarik ketika membaca tulisan menyebutkan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan perubahan budaya adalah teknologi. Teknologi diciptakan manusia
untuk mewujudkan kemakmuran bagi kehidupan manusia. Namun, dibalik itu semua
ada dampak negatif dari adanya teknologi. Dampak negatif itu muncul ketika
manusia tidak dapat menemukan budaya yang barunya ketika terjadi perubahan
budaya, misalnya kejahatan.
Hal lain yang aku pikirkan adalah masyarakat Nusakambangan.
Satu bulan yang lalu aku ke sana untuk melakukan penelitian. Hasil yang aku
dapatkan menunjukkan telah terjadinya perubahan kebudayaan di sana. Perubahan
tersebut yang pertama adalah perubahan keyakinan akan hutan Nusakambangan. Dulu
masyarakat mempercayai bahwa hutan di nusakambagan adalah angker. Sehingga
masyarakat takut untuk melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan. Namun,
karena adaya satu faktor, masyarakat sekarang menjadi tidak takut lagi kepada
hutan di Nusakambangan, hanya sekedar harus hati-hati ketika masuk hutan.
Kepercayaan yang menganggap bahwa hutan Nusakambangan angker telah hilang atau
luntur.
Yang kedua adalah perubahan mata pencaharian masyarakat.
dulu sebelum adanya gunung galunggung meletus dan belum terjadinya sedimentasi,
masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan. Namun, setelah kejadian
tersebut, semuanya berubah. Akibat kejadian tersebut yaitu berkurangnya ikan
yang ada di segara anakan karena terjadi sedimentasi secara terus-menerus.
Warga berpikiran, ada lahan di Nusakambangan kenapa tidak dimanfaatkan saja ya?
Karena keadaan warga dituntut beralih profesi menjadi petani. Saat awal menjadi
petani, warga belum mampu bertani secara baik. Dengan pengalaman dari kegagalan
tani-tani sebelumnya, warga belajar bagaimana
menjadi petani yang baik. Mulanya, warga hanya menanam padi saja. Namun,
lama kelamaan warga sadar jika mereka menanam padi saja akan merusak lahan yang
ada karena topografi dari Nusakambangan adalah perbukitan. Sekarang, warga
banyak yang menanam albiso sebutan untuk sengon di sana.